Senin, 23 November 2015

Berawal dari Kegelisahan Hati Tengah Malam

Saudaraku, ini hanya sebatas kisah yang tak berujung dan entah kapan dimulai.

Hati merupakan bagian yang paling murni dan paling mulia dari apapun. Hati juga berarti merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain. Tapi saudaraku pasti juga mengetahui pemilik hati dan penguasanya. Tidak ada satupun manusia yang mampu mengendalikanya. Apakah hatinya akan beriman atau kafir. Nabi Muhamad SAW bersabda:
“Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik)
Saudaraku, beruntunglah engkau yang terlahir dalam keluarga muslim. Syukurilah jika hatimu menetap pada agama yang sempurna. Banyak sekali mereka yang kafir dan belum mendapat hidayah,
bahkan saat terlahir sebagai muslimpun belum tentu hati akan beriman. Hal-hal yang dapat memperbaiki hati:
  • Al-mujahadah (kesungguhan) dalam memperbaikinya.
Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Abu Hafsh An-Naisaburi berkata, “Saya menjaga hatiku selama dua puluh tahun kemudian dia yang menjagaku selama dua puluh tahun.” (Nuzhah Al-Fudhala`: 1205)
  • Banyak mengingat kematian dan hari akhirat.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Abu Hurairah :

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan, yakni kematian” (HR. Imam Empat kecuali Abu Daud). Dan beliau juga bersabda tentang ziarah kubur, “Karena sesungguhnya dia mengingatkan kalian kepada negeri akhirat -dalam sebagian riwayat: Kematian-.” (HR. An-Nasa`i dan Ibnu Majah juga dari Abu Hurairah ). Dan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah sangat banyak ayat dan hadits yang mengingatkan akan kengerian hari kiamat dan dahsyatnya api neraka. Said bin Jubair -rahimahullah- berkata, “Seandainya mengingat kematian hilang dari hatiku niscaya saya khawatir kalau hal itu akan merusak hatiku.”
  • Bergaul dengan orang-orang yang saleh.
Dalam hal ini Nabi SAW  bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari :

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jelek adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, maka mungkin dia akan memberikannya kepadamu atau mungkin juga kamu akan membeli darinya atau paling tidak kamu mencium bau wangi di sekitarmu. Adapun pandai besi, maka kalau dia tidak membakar pakaianmu maka paling tidak kamu mencium bau busuk di sekitarmu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Bahkan Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,” (QS. Hud: 113)
  • Hatinya selalu terkait dengan Penciptanya dan Sembahannya.
Ini adalah jenjang ihsan yang Rasulullah  telah jelaskan definisinya dalam hadits Jibril yang masyhur, “Engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau kamu tida sanggup melihat-Nya maka yakinlah kalau Dia melihatmu.” (Muttafaqun alaih). Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Al-Wabil Ash-Shayyib, “Sesungguhnya di dalam hati ada wahsyah (sifat liar) yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan ketenangan dalam mengingat Allah, di dalamnya ada kesedihan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kegembiraan mengenal-Nya, dan padanya ada kefakiran yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kejujuran tawakkal kepada-Nya, yang seandainya seseorang diberikan dunia beserta segala isinya niscaya kefakiran tersebut tidak akan hilang.”
  • Amalan saleh dengan semua bentuknya.
Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri.” (QS. Fushshilat: 46). Ibnu Abbas  berkata, “Sesungguhnya amalan baik memberikan cahaya pada hati, kecemerlangan pada wajah, kekuatan pada badan, tambahan pada rezeki, kecintaan di dalam hati-hati para hamba.” Dan sebesar-besar bahkan landasan setiap amalan yang saleh adalah ilmu agama yang bermanfaat, dengannyalah seorang hamba mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah bersabda dalam hadits Muawiah bin Abi Sufyan:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya maka Dia akan memberikannya pemahaman dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  • Memanfaatkannya (hati) sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Ini adalah hal yang bisa dipahami secara akal, yakni suatu benda yang dibuat untuk mengerjakan sesuatu pasti akan rusak kalau digunakan untuk selain dari tujuan pembuatannya. Dan tujuan diciptakannya hati dan akal adalah untuk mentadabburi ayat-ayat Allah yang bersifat syar’i dan kauni yang darinya akan lahir amalan-amalan sebagai tanda keimanan dia kepada Allah. Pernah ditanyakan kepada Ummu Ad-Darda` -radhiallahu anha- tentang ibadah suaminya yang paling sering dia lakukan, maka beliau menjawab, “Berpikir dan mengambil pelajaran (darinya).”
  • Berdzikir kepada Allah Ta’ala.
Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf: 36). Dan Allah  berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126) Dan Allah berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Saudaraku, sebagai manusia kita berupaya untuk memperbaiki hati, namun hasilnya percayakanlah kepada sang pemilik hati. Tidak akan sia-sia usahamu, tidak akan mubazir keringatmu. Dan ingatlah, jangan biarkan hatimu RUSAK. Oke, Hal-hal yang dapat merusak hati akan kita "bicarakan" selanjutnya.
Bersyukur dan Ikhlas, Yakin Usaha Sampai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar